Senin, 02 Mei 2011

STRATEGI PENGEMBANGAN SDM MELALUI JALUR BELAJAR

Oleh : Hilmia Luthfiana
Terdapat deretan panjang strategi perubahan SDM melalui jalur belajar yang dapat dilaksanakan di lingkup sekolah. Tetapi, dalam artikel ini hanya akan dimunculkan beberapa yang paling umum dipakai.Berikut adalah cara-cara tersebut.

1. Peningkatan kualifikasi pendidikan
Kualifikasi pendidikan formal yang dipersyaratkan bagi guru SMP rintisan SBI adalah S-1 atau D-4, sedangkan tenaga kependidikan lain adalah D-3 kecuali kepala tata usaha S-1/D-4 (Dit. PSMP, 2007, h.). Peningkatan kualifikasi pendidikan formal, jika demikian, adalah wajib bagi mereka yang belum memenuhi kriteria. Peningkatan kualifikasi pendidikan akan sangat menguntungkan baik kepada individu maupun bagi lembaga. Keuntungan individual diperoleh karena peningkatan kualifikasi pendidikan disamping merupakan agen pencerahan (enlightment agent) bagi guru juga menambah poin untuk kepentingan sertifikasi dan kenaikan jabatan guru dan pangkatnya. Bagi tenaga kependidikan, peningkatan kualifikasi ini sangat mungkin akan membantu memperlancar kenaikan jabatan dan pangkat mereka. Secara institusional, perbaikan kualifikasi pendidikan disamaping berarti perbaikan konformitas kriteria SDM juga berarti peningkatan kompetensi SDM yang diperlukan demi mutu proses dan hasil pekerjaan yang diharapkan. Dengan alasan ini, mereka yang sudah memenuhi kualifikasi-pun hendaknya terus didorong untuk melanjutkan pendidikannya. Dorongan yang dimaksud dapat berupa satu atau gabungan dari a) pemberian motivasi yang sungguh-sungguh dan terus menerus, b) pemberian status tugas belajar atau setidaknya ijin belajar, c) dispensasi waktu jika diperlukan, dan jika mungkin, d) penyediaan fasilitas termasuk pemberian beasiswa baik penuh maupun sebagian.

Masalah yang sering muncul dan teramati di lapangan berkaitan dengan pendidikan formal ini adalah sebagai berikut. Menempuh pendidikan relatif makan waktu. Sering juga terjadi pendidikan yang berkualitas berbanding lurus dengan waktu tempuh. Sehingga, justru lembaga pendidikan yang kurang berorientasi mutu menjadi pilihan. Fokus diarahkan pada perolehan ijasah tanpa mempedulikan peningkatan nyata pada kualitas. Jika ini dilakukan oleh SDM sekolah rintisan SBI, dikhawatirkan maksud peningkatan mutu yang diharapkan tidak akan betul-betul kesampaian. Oleh karenanya, perlu diingatkan agar mereka yang bekerja pada sekolah rintisan SBI memperhatikan betul unsur mutu dalam pemilihan lembaga kependidikan. Hendaknya dipilih lembaga pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri, yang secara nyata mengedepankan kualitas Para pemangku kepentingan (stake holders) sekolah: kepala sekolah, komite sekolah, kepala dinas pendidikan, pejabat-pejabat departemen pendidikan nasional, dan bupati/walikota, selain membantu mempermudah para pendidik dan tenaga kependidikan rintisan SBI untuk melanjutkan studinya, hendaknya juga memperhatikan benar-benar unsur kualitas agar terjaga kesetaraan kualitas dengan kualifikasi pendidikan yang disandang oleh mereka. Selain itu pemilihan jurusan syang sesuai dengan bidang tugas juga perlu mendapat perhatian.

2. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)
Diklat umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan terhadap sekolah berkisar mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat bahkan tingkat internasional. Berbeda dengan pendidikan formal, diklat bersifat luwes dalam hal waktu. Diklat dapat dilangsungkan dari bilangan jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Diklat dapat diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, dsb. Disamping itu, instruktur diklat dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.

Karena keluwesan diklat hampir pada seluruh aspeknya, diklat sering dijadikan jalan keluar untuk mengatasi masalah kualitas SDM. Catatan yang perlu diungkap agar diklat dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah mutu SDM adalah bahwa pelaksanaan diklat hendaknya setia kepada tujuan. Tidak jarang dijumpai diklat dipakai sebagai ’proyek’ yang secara ekonomis menguntungkan para penyelenggara sehingga fokus perhatian mereka bukan pada tercapainya tujuan diklat secara efektif. Hasilnya bukan diklat bermutu yang benar-benar menjadi solusi masalah mutu SDM tetapi sebaliknya menurunkan kadar kepercayaan peserta diklat. Kontrol yang ketat dari mereka yang berwenang agar diklat tidak disalahgunakan perlu dilakukan dengan serius.

3. Kursus
Seperti halnya diklat, kursus diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, diklat diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi nirlaba sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa mereka berbanding lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak, mekanisme pasar akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih lembaga kursus yang bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan kulaitas pada sebuah diklat. Jika kursus menjadi pilihan, yang penting dilakukan adalah penyiapan dana yang sesuai dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh pemakai jasa kursus agar tidak membeli terlalu mahal adalah membandingkan kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual lain.

4. In-house training (IHT)
Berbeda dengan diklat dan kursus yang diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah, IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka. Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana peningkatan penguasaan materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena menjadi instruktur sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif. IHT dapat juga menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga sekolah sehingga ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT dapat menjadi forum yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau memperkuat kultur lama yang dipertahankan.

Untuk menghindari masalah mutu seperti yang diungkap dalam diskusi tentang diklat, penyelenggaraan IHT perlu taat tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat perhatian. Jika, misalnya, penetapan instruktur dari dalam sekolah dirasa kurang mendatangkan efek peningkatan mutu yang memadai, mendatangkan instruktur dari luar dapat menjadi solusinya; atau sebaliknya.

5. Peningkatan Budaya Membaca
Tanpa perlu dibicarakan panjang lebar membaca masih terbukti sebagai cara belajar yang sangat efektif. Bahan dan waktu membaca dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesempatan yang dimiliki oleh individu. Problem yang paling dominan berkenaan dengan membaca di Indonesia adalah masih rendahnya minat baca dan terbatasnya bahan bacaan. Untuk meminimalisasikan problem ini, para pemimpin kalangan pendidikan hendaknya terus-menerus memotivasi anak buah untuk meningkatkan kebiasaan membacanya. Sekolah rintisan SBI hendaknya menjadikan kebiasaan membaca sebagi kultur sekolah. Disamping itu tentu diperlukan penyediaan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini masalah bahan bacaan cetak yang relatif mahal dapat dibantu diatasi dengan menambah sumber bacaan dari CD dan internet. Penyediaan fasilitas ICT canggih ini dan pengenalan cara mencari bahan bacaan elektronik ini aharus dilakukan oleh sekolah jika kebiasaan membaca betul-betul ingin didongkrak.

6. Aktif dalam Mail list
Mail list adalah group e-mail yang biasanya diikuti oleh orang-orang dalam kelompok minat tertentu. Para guru dan tenaga kependidikan di sekolah rintisan SBI akan mendaptkan keuntungan besar jika mereka aktif dalam mail list yang beranggotakan sejawat baik dari dalam maupun luar sekolah, baik dari dalam maupoun luar negeri. Ikut dalam mail list internasional: teachers helping teachers (http://www.pacificnet.net/~mandel/math.html), sebagai contoh, akan sangat membantu guru memperoleh banyak pengetahuan baru di bidang tugasnya. Melalui kelompok ini banyak informasi dapat di sebar luaskan dan banyak masalah mungkin dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika ingin membuat mail-list sendiri, diperlukan fasilitaor yang berdedikasi tinggi dan tegas dalam menyaring arus informasi yang layak untuk di up-load dalam mail list. Disamping itu, diperlukan pula keaktifan masing-masing anggota dalam sharing informasi, masalah dan jalan keluarnya.

7. Naratif (Narrative)
Naratif berkaitan dengan cerita seseorang tentang pengalamannya kepada orang lain. Walaupun naratif dengan sengaja dapat difasilitasi untuk disampaikan pada pertemuan resmi, naratif umumnya berkembang dalam suasana informal pada waktu luang. Melalui naratif, baik penutur maupun pendengar dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Lieblich et al., 1998, h.7). Disinilah keunggulan naratif. Sebab, pengetahuan tidak selalu berbentuk pengetahuan ‘resmi’ seperti dalam tradisi akademik, tetapi dapat pula berbentuk ‘subjugated knowledge’ [pengetahuan terselubung] seperti ‘type of knowledge … in teachers’ conversations either in formal or informal settings’ [tipe pengetahuan… dalam percakapan guru baik dalam situasi formal maupun informal (Doecke, 2001, p.111). Percakapan sering didominasi oleh naratif. Karenanya, naratif memainkan peranan pentingnya dalam membentuk dan mentransfer pengetahuan sejak jaman purba (Kreiswith, 2000, h.295).

Naratif tidak selalu berisi kisah sukses seseorang. Kisah kegagalan-pun, jika dinaratifkan dapat menjadi sumber belajar yang berharga bagi penutur dan pendengar. Jika naratif tumbuh subur di kalangan personel seprofesi di sekolah, transfer dan penguatan pengetahuan akan terjadi dengan kuantitas dan kualitas yang luar biasa banyak tanpa harus didukung oleh dana mahal oleh sekolah. Suasana ini relatif gampang dikembangkan sebab ’a man is always a teller of tales [manusia selalu merupakan penutur cerita] (Kreiswith, 2000, p.293) atau ’people are story tellers by nature’ [orang pada dasrnrya adalah penutur cerita] (Lieblich et al., 1998, h 7) . Naratif bahkan telah diakui sebagai salah satu metode ilmiah (Kreiswith, 2000, h.295). Yang terpenting untuk dilakukan oleh sekolah agar naratif dapat berkembang adalah, pertama, pengembangan suasana kekeluargaan yang sehat di sekolah dan pemberian kesempatan yang cukup bagi kelompok-kelompok guru/tenaga kependidikan untuk memiliki waktu luang bersama. Yang kedua penciptaan suasana sekolah agar waktu luang sebanyak mungkin digunakan untuk bercerita tentang pelaksanaan pekerjaan. ’Nothing is more credence to a teacher than the word of another teacher’ [Tidak ada yang lebih dapat dipercaya oleh seorang guru kecuali kata-kata sesama guru] (Weller, 1996, p.4). Weller (1996) menambahkan ’saling hubungan antara teman lebih banyak berpengaruh dalam meningkatkan kualitas daripada model instruksional seperti lokakarya, seminar atau program pengembangan staf’ (h.4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar